Tebuireng, delapan kilometer arah selatan kota Jombang. Legenda masyarakat setempat menyebutkan, bahwa nama Tebuireng berasal dari kebo ireng. Bermula dari suatu peristiwa bahwa di antara penduduk dusun ada yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule). Suatu hari kerbau itu menghilang, setelah dicari kesana kemari barulah senja hari ditemukan terperosok di rawa-rawa. Seluruh kulitnya dipenuli binatang lintah sehingga terlihat hitam. Hal itu sangat mengejutkan bgi pemilik kerbau sehingga di berteriak,: kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu.
Riwayat lain menyebutkan, gkebo ireng berasal dari nama seorang punggawai pemilik kerbau sehingga dia berteriak, “kebo ireng”. Maka kebo ireng menjadi sebutan bagi dusun kecil itu. kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di daerah Jombang. Konon, keluarga pesantren Tebuireng dengan punggawa tersebut memiliki pertalian darah. Dalam perkembangan selanjutnya, nama kebo ireng berubah menjadi Tebuireng.Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Haji Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Pesantren ini didirikan setelah ia pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan di tanah Mekkah, untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya.
Tebuireng dahulunya merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang,Jawa Timur. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam).
Vesi lain menuturkan bahwa nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Dusun Tebuireng sempat dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari dan santri-santrinya, secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut berubah semakin baik dan perilaku negatif masyarakat di Tebuireng pun terkikis habis. Awal mula kegiatan dakwah K.H. Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa: gedek), bekas sebuah warung yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang dibelinya dari seorang dalang. Satu ruang digunakan untuk kegiatan pengajian, sementara yang lain sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.
Organisasi NU tersebar di seluruh provinsi di Indonesia dengan lebih dari 400 cabang, tetapi pengurus-pengurus wilayah NU yang kegiatan usahanya cukup nyata antara lain adalah yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.[2] Saat ini, keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng telah berkembang dengan baik dan semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas
Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut:
- KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
- KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
- KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
- KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
- KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
- KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
- KH. Salahuddin Wahid : 2006 - sekarang
0 komentar:
Posting Komentar